Rabu, 01 Mei 2013 0 komentar

Putus asa dan Harapan


Pasti menyenangkan setiap hari bisa berkumpul dengan teman-teman. Tertawa bersama, saling bercerita, saling pamer gadget-gadget terbaru. Bisa pesan makanan tanpa khawatir punya uang yang cukup buat bayar atau tidak. Bisa tidur di Kamar yang besar ber-AC, atau bisa Sekolah tanpa setiap hari ada yang menghina kamu miskin.

Sayangnya walau aku sangat menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan seperti itu tidak akan jadi kehidupanku. Pagi hari aku selalu berlomba dengan matahari siapa yang lebih dulu sampai di Sekolah. Sepedaku atau sinarnya dan sinarnya selalu menang mendahuluiku. Aku langsung menuju Kantin menata makanan dagangan ibuku di Meja. Tak lama ibuku akan datang dengan dagangan sisanya yang tidak bisa aku bawa di Sepedaku. Lalu ibuku akan menggoreng gorengan, pastel dan ikan. Saat ini biasanya penjual-penjual di Kantin yang lain mulai datang menata jualannya juga. Aku membantu ibuku hingga jam setengah tujuh pagi waktuku untuk masuk Kelas.

Di Kelas tantangan tersendiri muncul, saat aku sudah melihat Tania dan gengnya yang terdiri dari 3 orang. Lisa, Rachel dan Della. mereka berdiri di depan pintu Kelas. 

“Eh Babu, gimana udah selesai nyiapin makanannya di Kantin? mau nggak kalau jadi Babu di Rumahku bayarannya gede loh” seru Tania diiringi tawa gengnya. Awalnya kuping dan hatiku selalu panas mendengar ejekannya. Tapi ibu selalu bilang itu tidak ada gunanya. Marah dan sedih karena dihina orang lain tidak pernah ada gunanya. Apalagi mendengar orang kaya macam Tania dan gengnya. Kadang aku memandang ke cermin dan bertanya-tanya . mengapa aku bukan anak seorang pengusaha real estate sukses seperti Tania? Atau anak seorang designer kaya dan terkenal seperti Lisa? Kalau aku jadi anak orang kaya aku yakin aku nggak akan sombong seperti mereka. mengapa justru Tuhan mendukung sikap sok dan sombong mereka itu? dan memberiku nasib seperti ini. Mengapa Tuhan begitu tidak adil?
Aku duduk di Bangkuku dengan segera, untung saja aku sebangku dengan Nia. kami sudah bersahabat sejak SMP dan entah kenapa kami selalu sekelas dan sebangku hingga kami SMA di Kelas X-2 ini. Nia anak orang kaya juga sekaya Tania tapi tidak ada satupun di Sekolah yang tahu itu. hanya aku dan Damar sahabat-sahabatnya. Nia memang berbeda dia tidak sombong. Dia menyamar jadi anak biasa saja. walau sebenarnya dia bisa datang dengan mobil ke Sekolah setiap hari tapi dia memilih naik angkot. Walau dia bisa beli Iphone sepuluh biji saat ini pun dia tetap tidak pernah mau mengganti hpnya yang sudah agak jadul selama 5 tahun.

 
;