Rabu, 01 Mei 2013

Putus asa dan Harapan


Pasti menyenangkan setiap hari bisa berkumpul dengan teman-teman. Tertawa bersama, saling bercerita, saling pamer gadget-gadget terbaru. Bisa pesan makanan tanpa khawatir punya uang yang cukup buat bayar atau tidak. Bisa tidur di Kamar yang besar ber-AC, atau bisa Sekolah tanpa setiap hari ada yang menghina kamu miskin.

Sayangnya walau aku sangat menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan seperti itu tidak akan jadi kehidupanku. Pagi hari aku selalu berlomba dengan matahari siapa yang lebih dulu sampai di Sekolah. Sepedaku atau sinarnya dan sinarnya selalu menang mendahuluiku. Aku langsung menuju Kantin menata makanan dagangan ibuku di Meja. Tak lama ibuku akan datang dengan dagangan sisanya yang tidak bisa aku bawa di Sepedaku. Lalu ibuku akan menggoreng gorengan, pastel dan ikan. Saat ini biasanya penjual-penjual di Kantin yang lain mulai datang menata jualannya juga. Aku membantu ibuku hingga jam setengah tujuh pagi waktuku untuk masuk Kelas.

Di Kelas tantangan tersendiri muncul, saat aku sudah melihat Tania dan gengnya yang terdiri dari 3 orang. Lisa, Rachel dan Della. mereka berdiri di depan pintu Kelas. 

“Eh Babu, gimana udah selesai nyiapin makanannya di Kantin? mau nggak kalau jadi Babu di Rumahku bayarannya gede loh” seru Tania diiringi tawa gengnya. Awalnya kuping dan hatiku selalu panas mendengar ejekannya. Tapi ibu selalu bilang itu tidak ada gunanya. Marah dan sedih karena dihina orang lain tidak pernah ada gunanya. Apalagi mendengar orang kaya macam Tania dan gengnya. Kadang aku memandang ke cermin dan bertanya-tanya . mengapa aku bukan anak seorang pengusaha real estate sukses seperti Tania? Atau anak seorang designer kaya dan terkenal seperti Lisa? Kalau aku jadi anak orang kaya aku yakin aku nggak akan sombong seperti mereka. mengapa justru Tuhan mendukung sikap sok dan sombong mereka itu? dan memberiku nasib seperti ini. Mengapa Tuhan begitu tidak adil?
Aku duduk di Bangkuku dengan segera, untung saja aku sebangku dengan Nia. kami sudah bersahabat sejak SMP dan entah kenapa kami selalu sekelas dan sebangku hingga kami SMA di Kelas X-2 ini. Nia anak orang kaya juga sekaya Tania tapi tidak ada satupun di Sekolah yang tahu itu. hanya aku dan Damar sahabat-sahabatnya. Nia memang berbeda dia tidak sombong. Dia menyamar jadi anak biasa saja. walau sebenarnya dia bisa datang dengan mobil ke Sekolah setiap hari tapi dia memilih naik angkot. Walau dia bisa beli Iphone sepuluh biji saat ini pun dia tetap tidak pernah mau mengganti hpnya yang sudah agak jadul selama 5 tahun.


Saat memandang wajah cantik Nia yang tersenyum manis padaku barulah aku bisa menganggap betapa baiknya Tuhan memberiku sahabat seperti Nia. 

“Selamat pagi” sapanya ceria selalu.
“Selamat pagi juga” balasku namun tak bisa sesemangat dia.
“Pagi-pagi udah lesu aja” tiba-tiba Damar menyambar. Dammar sahabarku satu ini memang gantengnya kebangetan. Tapi sayangnya, jalannya ituloh kadang agak melambai dan sifatnya pun kebancian. Aku merasa senasib dengan Damar dia juga menjadi bahan hinaan oleh Tania dan gengnya itu. kalau aku diejek Tania dengan panggilan ‘Babu’ Damar dipanggil ‘Bangleng’ alias banci kaleng. Meskipun begitu Damar adalah teman yang sangat baik dan kadang-kadang walau jarang sekali. Sifat gentlemennya muncul dan kalau sifat gentlemennya sudah muncul Damar pasti kelihatan sangat keren. Dammar bukan anak dari keluarga miskin bisa dibilang ekonomi keluarganya masih menengah ke atas. Jadi diantara sahabatku ini akulah yang termiskin.

“Ya, pagi-pagi sarapannya udah nggak enak sih” timpalku.
Nia tersenyum, “Ya udah kalau sarapannya nggak enak, gimana kalau makan siangnya aja yang dienakkin” Nia mengeluarkan lunchboxnya dan membuka sedikit tutupnya. Wangi cokelat samar-samar tercium dari lunchbox Nia.
“Wah, kamu eksperimen apalagi Ni?” tanya Damar.
“Pokoknya enak deh, kita makan waktu istirahat aja ya” jawab Nia. aku dan Damar langsung mengangguk bersemangat.
©©
Sepotong besar black forest aku makan dengan lahap. Aku, Nia dan Damar duduk di bawah pohon di Taman Sekolah. Kami tertawa dan saling bercanda dan saat di dekat merekalah aku baru bisa merasa hidupku ini tidak terlalu buruk juga. Tapi itu tidak bisa berlangsung lama karena aku harus segera ke Kantin dan membantu ibuku. Dan tantangan itupun muncul lagi saat Tania dan gengnya muncul.
Tania sengaja mengeluarkan Iphone seri terbarunya di depanku dan aku tidak bisa untuk tidak menahan kepalaku untuk sedikit menengok ke arahnya.

“Eh babu, aku kayak biasanya ya” serunya. Lisa mengeluarkan Ipadnya lalu mereka pergi duduk di Meja Kantin yang sering mereka duduki. Walaupun aku tau tidak mungkin aku bisa memiliki gadget-gadget mahal seperti itu aku tetap  tidak bisa menutupi bahwa aku ingin sekali memiliki barang-barang seperti itu.

Ibuku menepuk pundakku membuatku tersentak, ‘ada apa?’ tanya ibu dalam bahasa isyarat. Ibuku adalah seorang tunarunggu.

‘Tidak ada, pesananya sudah siap aku anterin ya?’ balasku dalam bahasa isyarat juga. Ibuku mengangguk sebagai jawaban. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat sebelum mengangkat nampan ini. bukan karena nampannya sangat berat tapi aku akan mengantarnya ke Meja Tania.

Aku mendekati meja Tania dan gengnya sepertinya mereka memanfaatkan saat itu untuk mengeluarkan segala gadget keren mereka. pastinya dengan maksud membuatku iri dan aku tidak bisa menampik kalau aku memang iri. Aku segera pergi dari meja itu setelah meletakkan makanan di meja mereka dengan susah payah aku menahan emosi yang meluap ini. beberapa menit kemudian Tania memanggilku dengan nada membentak.

“Eh Babu, bisa jualan nggak sih?”
“Apa?” tanyaku tak mengerti sambil berjalan mendekat.
“Lihat nih!” bentak Rachel menunjuk mangkok mienya dan ada kecoa mati di atasnya.
Aku nyengir sejenak, “Eh kok malah ketawa sih? Kalian itu bisa jualan nggak sih?” tanya Tania.
“Kecoa itu tau banget tempat yang pantas buat mati” ujarku.
“Kurang ajar loe ya!” bentak Lisa. “Kalau hal ini kita aduin ke Kepala Sekolah loe sama ibu loe  yang bisu itu bisa nggak boleh jualan lagi di Kantin Sekolah ini tau nggak”

Ibuku datang dengan tergopoh-gopoh dan bertanya ada apa dalam bahasa isyarat. Namun Tania langsung mendorongnya ke Lantai akupun tidak terima balas mendorongnya hingga menabrak meja. Lisa dan Della maju membalas mencakar dan menjambak rambutku tanpa bisa aku hindari. Anak-anak di Kantin malah menyemangati kami seperti kami adalah sebuah hiburan. Hingga akhirnya Nia dan Damar muncul melerai kami.
©©
Kelanjutan dari perkara itu tentu saja Ruang Kepala Sekolah. Karena Ayah Tania merupakan donatur terbesar sekolah. Akhirnya Sekolah tak punya pilihan lain selain mencabut izin jualan ibuku beruntung beasiswaku tak ikut dicabut.

Aku lelah tubuh dan batin, hingga sampai di Rumah aku langsung masuk Kamar dan menangis sepuasku. Ibu masuk tanpa suara dan duduk di sisi tempat tidurku membelai rambut panjangku dengan lembut. Aku mengangkat wajahku memandang wajah ibu. 

‘Sabar’ ucap ibu dalam bahasa isyarat sambil tersenyum.
“Sabar yang benar saja Bu!!” ucapku dalam bahasa isyarat dan kata-kata juga. “Aku sudah sabar Bu, aku sudah sabar selama bertahun-tahun. Sejak aku SD aku selalu jadi bulan-bulanan temanku yang lebih kaya. Dan ibu masih menyuruhku sabar! Aku kurang sabar apa Bu. Saat semua temanku bisa menikmati masa muda mereka. aku malah terjebak di sini dengan segala kekurangan. Kenapa sih Bu? Kenapa Ibu harus jadi orang miskin? Kenapa hidup kita kayak gini? Aku juga mau Bu, bisa punya barang-barang bagus, baju bagus, tinggal di Rumah mewah dengan kamarku yang luas. Katakan Bu! Harus sesabar apalagi aku?”

Akhirnya aku kalah dari kemarahan yang selama ini aku pendam. Ibu hanya bisa terdiam dan air matanya mengalir perlahan di pipinya. Tapi aku tidak bisa peduli lagi, aku menyambar jaketku di gantungan belakang pintu dan melangkah keluar Rumah. Suasana di luar seketika mendung, langit gelap dan angin pun sangat dingin. Aku tidak tau aku harus kemana sekarang, aku hanya terduduk di Pos Ronda di Gang yang sepi.

Aku benci kehidupan ini, aku sangat benci! Kenapa harus kehidupan seperti ini yang diberikan padaku?
“Kamu baik-baik saja?” tiba-tiba ada sebuah suara lembut yang terdengar. Aku mendongak dan melihat seorang gadis cantik dihadapanku. Rambutnya panjang mencapai punggungnya berwarna hitam kecokelatan berkilau. Matanya berwarna hitam kelam dan kulitnya agak kecokelatan dan mengkilap seperti kain nilon. Dia mengenakan dress hitam selutut polos yang terlihat sangat ganjil untuk dipakai di tengah gang seperti ini.

“Aku baik” jawabku berusaha sewajarnya namun tidak bisa suaraku sudah serak karena menangis.
“Namaku Wena, mungkin kamu butuh seseorang untuk cerita” ucapnya duduk di sebelahku.
“Aku tidak butuh siapapun” balasku dingin. Namun tangannya malah menyentuh tanganku. Rasanya hangat dan rasa nyaman langsung menyeruak memasukki diriku entah kenapa.
“Ceritalah tidak apa-apa jangan menangisinya sendirian” ucapnya. Mata kami bertemu dan aku rasa ada suatu ketulusan dalam tatapan matanya. Aku menceritakkan padanya, tentang betapa bencinya aku pada kehidupan ini. tentang Tania dan ibuku yang tunarunggu tentang bagaimana aku dihina karena ibuku hanya seorang penjual di Kantin dan profesi-profesinya yang selalu menyedihkan dan tidak bisa dibanggakan.
 “Aku tau kamu pasti sudah terlalu lama bersabar. Jadi menangis saja karena kamu tidak sendirian sekarang” hibur Wena. Baru kali ini ada orang yang tidak menyuruhku untuk bersabar terus dan rasanya menyenangkan. Aku menangis sampai aku sesegukan dan mulai tenang.
“Untuk hadiah pertemuan kita” Wena melepas kalung yang menggantung di lehernya aku baru sadar dia memakai kalung. Wena memakaikan kalung itu di leherku. Kalung itu sangat indah berbentuk bunga dan berwarna perak atau mungkin memang terbuat dari perak.
“Kalung itu selalu menghiburku saat aku sedih, kamu pasti akan membutuhkannya. Kalung itu punya mantra loh. saat kamu sendirian coba ucapkan “Leisosa eviolosa” kata penjualnya sih itu mantra pemanggil kebahagiaan tapi aku belum pernah mencobanya” ujar Wena.
“Mantra pemanggil kebahagiaan? Tapi apa tidak apa-apa kamu memberikan kalung ini begitu saja padaku? Sepertinya kalung ini mahal?”
“Tidak apa-apa, kamu lebih butuh. Oh ya, dari tadi aku belum tau namamu?” jawabnya sekaligus bertanya.
“Namaku Lia, terimakasih banyak ya Wena. Oh ya Wena apa kita bisa bertemu lagi?”
“Mungkin, aku jarang keluar karena dilarang oleh orang tuaku. Tapi mungkin kita bisa bertemu kalau beruntung”
“Oh memangnya kenapa kamu tidak boleh keluar oleh orang tuamu?” tanyaku.
“Panjang ceritanya, sudah ya Lia aku pulang dulu. kamu jangan sedih terus” jawab Wena. Dia mulai berdiri dan berjalan pergi hingga dia lenyap di belokan gang. Dia pasti anak orang kaya pikirku. Aku pulang ke Rumah menjelang sore dan saat seperti ini ibu pasti sedang di Perumahan orang-orang kaya untuk mencuci dan menyeterika pakaian. Aku langsung masuk Kamar dan duduk di Kasur sambil memegangi kalung itu.
“Mantra pemanggil kebahagiaan? Apa aku gila percaya yang seperti itu?” gumamku sendiri. Tapi mendengar kalau mantera itu bisa memanggil kebahagiaan aku tergoda untuk mencoba.
“Leisosa Eviolosa” ucapku. 1,2,3 tidak terjadi apapun. Apa mantera itu palsu? Aku mendongak melihat sekeliling. Ternyata Kamarku sudah berubah bukan Kamar sempit dengan perabotan sederhana lagi. tapi berubah menjadi Kamar yang besar, luas dan perabotannya mewah dengan tempat tidur king size.
“Halo Lia, aku adalah Eviolosa. Aku adalah peri yang akan mengabulkan semua keinginanmu” sambut seorang gadis yang sangat cantik. Rambutnya panjang matanya berwarna emas indah sekali.  Dengan gaun perak yang indah dia melayang dengan sayap transparannya di depanku.
“Eviolosa, jadi benar mantera itu pemanggil kebahagiaan?”
“Tentu saja, sekarang ucapkan keinginanmu akan kukabulkan”
“Benarkah? Kalau begitu aku ingin Iphone, Ipod, Ipad, kamera SLR lalu baju-baju yang bagus, aksesoris yang bagus” pintaku dengan semangat. Dalam satu jentikan jari semua sudah tersedia di hadapanku. Semua yang aku inginkan jadi milikku.
©©
Semua tentunya kaget melihatku membawa Ipad ke Sekolah terutama Tania dan gengnya. Tapi aku tidak memperdulikannya mereka tidak punya alasan untuk menghinaku.
“Nyolong dari mana loe?” tanya Tani rasis.
“Maaf ya, aku nggak nyolong aku beli” jawabku jelas berbohong. Aku tidak mungkin bilang ke mereka kalau aku punya peri bernama Eviolosa.
“Beli? Uang apa? kamu jual diri ya?” kata Lisa membuatku marah.
“Jaga ya omongan loe! Emang Cuma kalian aja yang boleh punya barang-barang bagus! Gue juga bisa!” kataku nyolot dan langsung melenggang memasukki Kelas. Nia dan Damar menatap heran ke arahku aku tidak menyukai tatapan heran mereka itu.
“Apa sih?” tanyaku ketus.
“Ada sesuatu yang terjadi ya  Lia?” tanya Nia memandangku seakan aku ini hewan yang terluka.
“Kamu mau bilang kalau aku nyolong juga gitu? Atau jual diri iya?”
“Enggak Lia, kami nggak masalah kamu punya Ipad atau apapun tapi..” Damar tidak melanjutkan kata-katanya.
“Halah, ternyata kalian sama kayak Tania!” aku membanting tasku dan langsung pergi dari Kelas menuju Toilet. Di sana aku ucapkan mantera memanggil Eviolosa.
“Ada apa Lia? Apa kamu mau meminta sesuatu?” tanya Eviolosa.
Aku mengangguk mantap, “Aku ingin Tania jadi Tunarunggu seperti ibuku dan aku ingin Nia dan Damar jauh-jauh dariku”
“Baik” ucap Eviolosa sembari menjentikkan jarinya. Mendadak di Sekolahku ada perputaran Kelas jadi aku terpisah dari Nia dan Damar. Sepulang Sekolah Tania mengalami kecelakaan dan membuat pita suaranya rusak.

Aku melangkah pulang dengan ringan menyusuri gang-gang yang sepi. panas menyengat hari ini menyebabkan semua pintu Rumah tertutup namun tidak aku hiraukan. Baru pertama kali dalam hidupku aku merasa sesenang ini.

“Itu nggak akan berlangsung lama” ucap seseorang membuat aku berbalik ke arahnya. Ternyata  seorang perempuan cantik lagi. bukan Eviolosa, kali ini dia memakai dress yang sama seperti Wena tapi berwarna putih. Sekilas aku kira dia adalah Wena tapi rambutnya hanya sebatas bahu dan berwarna hitam sepenuhnya. Matanya berwarna merah menyala seperti terbakar, kulitnya pucat hingga nyaris transparan.
“Itu nggak akan berlangsung lama Lia, kebahagiaan itu akan memakanmu. Dia akan menculikmu ke negrinya” ucap gadis itu berjalan mendekat hingga berada tepat di depanku.
“Siapa kamu?” tanyaku ketus, aku tidak suka dengan nada bicaranya.
“Aku Anis, percayalah kalung itu memberi pengaruh buruk untukmu. Kamu harus memberikkannya padaku. Aku akan menghancurkannya”
“Tidak!” ucapku seketika aku mengenggam kalung itu. “Kamu ingin memiliki Eviolosa kan? Tidak aku tidak mau” aku berbalik dan langsung berlari, sampai di Rumah aku langsung masuk Ke Kamarku yang kini makin indah.
“Percayalah Lia, dia hanya ingin dendam yang ada dalam hatimu” aku tersentak melihat Anis berdiri di tengah Kamarku. Bagaimana bisa dia?
“Pergi Kamu!!” usirku.
“Wena memanfaatkanmu, berikan kalung itu padaku Lia. Kamu harusnya tau bahwa hidup mewah tidak selamanya bisa bahagia”
“Kalau kamu mau mengambil kalung ini ambil sendiri!” tantangku.
“Tidak bisa kalung itu dilindungi mantera hanya pemiliknya yang bisa memberikannya dan tidak bisa direbut. Lia percayalah! Kamu harus memberikannya sebelum kamu dibawa pergi”
“Leisosa Eviolosa!” teriakku. Eviolosa keluar dari Kalungku. “Usir dia dan aku tidak mau dia masuk lagi kemari” Eviolosa langsung menyergap Anis dan menyeretnya menembus tembok. Aku membanting diriku di Kasur. Apapun yang terjadi aku tidak mau kalung ini lepas dariku.
“Saya sudah mengusir dia Lia” ucap Eviolosa memasukki Kamarku.
“Bagus, aku tidak mau dia di sini lagi” seruku.
“Lia, aku ingin menunjukkan padamu sesuatu” ucap Eviolosa.
“Apa itu? “tanyaku penasaran langsung bangkit berdiri.
“Aku ingin menunjukkanmu negri bidadari. Negriku. Kamu adalah tuanku yang paling baik aku tidak pernah mendapat tuan sebaik kamu. jadi aku ingin menunjukkanmu negri para peri dan bidadari tinggal di sana ada banyak permintaan yang bisa kamu ajukan hingga tak terhingga”

Aku tergoda untuk ikut Eviolosa ke Negrinya. Bayangkan saja aku bisa meminta apapun yang aku mau hingga tak terhingga. Aku meraih uluran tangan Eviolosa cahaya putih menguasai sekelilingku. Kupejamkan mata dan mulai menyusun daftar permintaan di Kepalaku.

Boro-boro meminta permintaan sekarang kedua tangan dan kakiku malah dirantai. Aku tidak tau di mana aku sekarang. Sekitarku gelap hanya ada cahaya remang-remang dari obor yang menempel di dinding batu. ruangan yang berbentuk lingkaran itu terlihat mencekam, gelap dan dingin ketakutan menguasai diriku.

“Mau minta sesuatu Lia?” Wena turun dari atas menembus atap, dengan lembut dia menjejak lantai. Lalu berjalan anggun mendekatiku dan berlutut mendekatkan wajahnya ke wajahku.  “Perasaanmu sangat sempurna”
“Wena, kamu-kamu di mana Eviolosa?”
“Eviolosa?” Wena berdiri tiba-tiba cahaya hitam menyelimutinya dan Wena berubah menjadi Eviolosa untuk beberapa menit lalu dia kembali lagi ke Wena. “Eviolosa adalah Wena, selamat datang untukmu Lia di Negri Paralelku. Sekarang aku akan membuatmu merasa takut dan putus asa lalu aku akan memakan perasaanmu itu sebagai kekuatanku dan kamu tidak akan punya kebahagiaan lagi untuk dirasakan”

Walau mencoba untuk tidak takut tapi aku tidak bisa menahan ketakutan itu. dalam benakku terbayang masa-masa hidupku yang selama ini aku sesali ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku teringat Nia dan Damar sahabat-sahabatku yang baik dan selalu menyemangatiku. Lalu ibu aku sudah sangat bersalah pada ibu. Selama ini ibu selalu berjuang untukku tapi aku tidak pernah menghargainya sama sekali. Aku malah membuangnya begitu saja.
“Maafkan aku ibu, maafkan aku Lia, Damar” gumamku sembari menangis.
Kulihat cahaya putih mendarat di depanku mendorong Wena hingga menabrak dinding batu. Anis!! Seru hatiku melihat Anis di hadapanku. Dengan pedang cahayanya dia memotong rantai yang memasung tangan dan kakiku.
“Bagaimana kamu bisa masuk ke Negriku?” tanya Wena marah.
Anis berbalik menatap Wena, “Karena Nia merasa menyesal dan dalam dirinya dia memohon kesempatan kedua. Dia memohon harapan sumber kekuatanku”
“Kurang ajar!” Wena marah dan mengeluarkan cahaya hitam dari tangannya. cahaya itu dengan cepat menuju Anis tapi Anis mengeluarkan cahaya putih hingga terjadi koneksi antara kedua cahaya itu. koneksinya sangat kuat membuat aku terpental beberapa meter ke belakang. Kepalaku pusing menabrak lantai batu. apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Aku bertanya-tanya pada diriku. Aku ingin pulang! Aku ingin pulang dan meminta maaf pada ibu. Meminta maaf pada Nia dan Damar. Aku ingin menyampaikan pada mereka bahwa selama ini aku salah. Aku menyesal dan aku berharap aku memiliki ….. sebuah harapan.

Aku raba-raba leherku dan aku menemukan kalung bunga itu masih terpasang di leherku. Aku menariknya paksa hingga terlepas aku berusaha bangkit dan mendekati koneksi cahaya Wena dan Anis. Walau tubuhku terasa dicabik-cabik oleh sinar koneksi itu. aku melemparkan kalung itu di tengah koneksi cahaya mereka. dan blam! Terjadi ledakan dan aku terbentur lagi lalu entahlah semua gelap.
Aku buka mataku dan merasakkan betapa sakitnya kepalaku. Atap putih dengan lampu neon juga wajah lembut ibuku menyambutkku. Ibuku langsung berseru pada Nia dan Damar yang berdiri di belakangnya.
“Lia, kamu sudah sadar akhirnya” seru ibu bahagia.
“Ibu, Ibu bisa bicara? Apa yang terjadi sama aku bu?” tanyaku.
“Iya Lia, ini benar-benar suatu keajaiban. Lia kamu mengalami kecelakaan kamu ditabrak mobil lalu kamu sudah 5 hari tidak sadarkan diri” jelas ibu.
“Lia untunglah kamu sudah sadar” ucap Nia mengenggam tanganku.
“Aku tidak ingat apapun, kepalaku rasanya sakit sekali” keluhku.
“Ibu akan panggilkan dokter ya untuk memeriksamu” ibu buru-buru keluar dari Kamarku.
“Lia, aku tadi udah pesanin makanan kesukaan kamu di Kantin Rumah Sakit bentar aku ambil dulu ya” seru Nia bahagia dia juga keluar dari Kamar. Tak lama handphone Damar berdering dan dia juga keluar dari Kamar.
“Anis, kamu di sini kan?” ucapku tak lama Anis muncul dari sudut Kamar.
“Ternyata kamu menyadarinya ya”
Aku mengangguk, “Terimakasih sudah menyembuhkan ibuku”
“Tania juga bisa bicara lagi, ini hadiah atas keberanianmu”
“Apa yang terjadi pada Wena?” tanyaku.
“Dia melemah, karena keinginanmu untuk menemukan harapan begitu kuat apalagi saat kamu melemparkan kalung itu kekuatanku jadi bertambah hingga aku bisa melindungi kita dari ledakan itu”
“Sebenarnya kamu dan Wena itu apa? apa kalian peri atau apa?”
“Yang jelas kami adalah putus asa dan harapan. Kamu tidak perlu memikirkan kami lagi. Mulai dari sekarang kamu tidak akan melihatku lagi atau Wena lagi. aku janji”
“Terimakasih” ucapku tulus “Em, Anis apa itu artinya kita tidak bisa bertemu lagi?” tanyaku.
“Kau tau aku adalah wakil dari harapan, kalau kamu terus memiliki harapan di hatimu maka sebenarnya aku tidak pernah pergi” lalu Anis hilang bagai pasir pantai yang dihembus angin. Kebahagiaan bukan di dapat bedasarkan seberapa banyak yang kamu miliki. Tapi kebahagiaan di dapat bedasarkan seberapa banyak yang kamu syukuri. Ibuku , Nia dan Damar kembali ke Kamar dan aku langsung memeluk mereka. mulai sekarang aku tidak akan pernah menyesali kehidupanku lagi karena kebahagiaan sebenarnya sudah ada di dekatku sejak dulu.





0 komentar:

Posting Komentar

 
;