Pasti menyenangkan
setiap hari bisa berkumpul dengan teman-teman. Tertawa bersama, saling
bercerita, saling pamer gadget-gadget terbaru. Bisa pesan makanan tanpa
khawatir punya uang yang cukup buat bayar atau tidak. Bisa tidur di Kamar yang
besar ber-AC, atau bisa Sekolah tanpa setiap hari ada yang menghina kamu
miskin.
Sayangnya walau aku
sangat menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan seperti itu tidak akan
jadi kehidupanku. Pagi hari aku selalu berlomba dengan matahari siapa yang
lebih dulu sampai di Sekolah. Sepedaku atau sinarnya dan sinarnya selalu menang
mendahuluiku. Aku langsung menuju Kantin menata makanan dagangan ibuku di Meja.
Tak lama ibuku akan datang dengan dagangan sisanya yang tidak bisa aku bawa di
Sepedaku. Lalu ibuku akan menggoreng gorengan, pastel dan ikan. Saat ini
biasanya penjual-penjual di Kantin yang lain mulai datang menata jualannya juga.
Aku membantu ibuku hingga jam setengah tujuh pagi waktuku untuk masuk Kelas.
Di Kelas tantangan
tersendiri muncul, saat aku sudah melihat Tania dan gengnya yang terdiri dari 3
orang. Lisa, Rachel dan Della. mereka berdiri di depan pintu Kelas.
“Eh Babu, gimana udah
selesai nyiapin makanannya di Kantin? mau nggak kalau jadi Babu di Rumahku
bayarannya gede loh” seru Tania diiringi tawa gengnya. Awalnya kuping dan
hatiku selalu panas mendengar ejekannya. Tapi ibu selalu bilang itu tidak ada
gunanya. Marah dan sedih karena dihina orang lain tidak pernah ada gunanya. Apalagi
mendengar orang kaya macam Tania dan gengnya. Kadang aku memandang ke cermin
dan bertanya-tanya . mengapa aku bukan anak seorang pengusaha real estate
sukses seperti Tania? Atau anak seorang designer kaya dan terkenal seperti
Lisa? Kalau aku jadi anak orang kaya aku yakin aku nggak akan sombong seperti
mereka. mengapa justru Tuhan mendukung sikap sok dan sombong mereka itu? dan
memberiku nasib seperti ini. Mengapa Tuhan begitu tidak adil?
Aku duduk di Bangkuku
dengan segera, untung saja aku sebangku dengan Nia. kami sudah bersahabat sejak
SMP dan entah kenapa kami selalu sekelas dan sebangku hingga kami SMA di Kelas
X-2 ini. Nia anak orang kaya juga sekaya Tania tapi tidak ada satupun di
Sekolah yang tahu itu. hanya aku dan Damar sahabat-sahabatnya. Nia memang
berbeda dia tidak sombong. Dia menyamar jadi anak biasa saja. walau sebenarnya
dia bisa datang dengan mobil ke Sekolah setiap hari tapi dia memilih naik
angkot. Walau dia bisa beli Iphone sepuluh biji saat ini pun dia tetap tidak
pernah mau mengganti hpnya yang sudah agak jadul selama 5 tahun.
Saat memandang wajah
cantik Nia yang tersenyum manis padaku barulah aku bisa menganggap betapa
baiknya Tuhan memberiku sahabat seperti Nia.
“Selamat pagi” sapanya
ceria selalu.
“Selamat pagi juga”
balasku namun tak bisa sesemangat dia.
“Pagi-pagi udah lesu
aja” tiba-tiba Damar menyambar. Dammar sahabarku satu ini memang gantengnya
kebangetan. Tapi sayangnya, jalannya ituloh kadang agak melambai dan sifatnya
pun kebancian. Aku merasa senasib dengan Damar dia juga menjadi bahan hinaan
oleh Tania dan gengnya itu. kalau aku diejek Tania dengan panggilan ‘Babu’
Damar dipanggil ‘Bangleng’ alias banci kaleng. Meskipun begitu Damar adalah
teman yang sangat baik dan kadang-kadang walau jarang sekali. Sifat
gentlemennya muncul dan kalau sifat gentlemennya sudah muncul Damar pasti
kelihatan sangat keren. Dammar bukan anak dari keluarga miskin bisa dibilang
ekonomi keluarganya masih menengah ke atas. Jadi diantara sahabatku ini akulah
yang termiskin.
“Ya, pagi-pagi
sarapannya udah nggak enak sih” timpalku.
Nia tersenyum, “Ya udah
kalau sarapannya nggak enak, gimana kalau makan siangnya aja yang dienakkin”
Nia mengeluarkan lunchboxnya dan membuka sedikit tutupnya. Wangi cokelat
samar-samar tercium dari lunchbox Nia.
“Wah, kamu eksperimen
apalagi Ni?” tanya Damar.
“Pokoknya enak deh,
kita makan waktu istirahat aja ya” jawab Nia. aku dan Damar langsung mengangguk
bersemangat.
©©
Sepotong besar black
forest aku makan dengan lahap. Aku, Nia dan Damar duduk di bawah pohon di Taman
Sekolah. Kami tertawa dan saling bercanda dan saat di dekat merekalah aku baru
bisa merasa hidupku ini tidak terlalu buruk juga. Tapi itu tidak bisa
berlangsung lama karena aku harus segera ke Kantin dan membantu ibuku. Dan
tantangan itupun muncul lagi saat Tania dan gengnya muncul.
Tania sengaja
mengeluarkan Iphone seri terbarunya di depanku dan aku tidak bisa untuk tidak
menahan kepalaku untuk sedikit menengok ke arahnya.
“Eh babu, aku kayak
biasanya ya” serunya. Lisa mengeluarkan Ipadnya lalu mereka pergi duduk di Meja
Kantin yang sering mereka duduki. Walaupun aku tau tidak mungkin aku bisa
memiliki gadget-gadget mahal seperti itu aku tetap tidak bisa menutupi bahwa aku ingin sekali
memiliki barang-barang seperti itu.
Ibuku menepuk pundakku
membuatku tersentak, ‘ada apa?’ tanya ibu dalam bahasa isyarat. Ibuku adalah
seorang tunarunggu.
‘Tidak ada, pesananya
sudah siap aku anterin ya?’ balasku dalam bahasa isyarat juga. Ibuku mengangguk
sebagai jawaban. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat sebelum mengangkat nampan
ini. bukan karena nampannya sangat berat tapi aku akan mengantarnya ke Meja Tania.
Aku mendekati meja
Tania dan gengnya sepertinya mereka memanfaatkan saat itu untuk mengeluarkan
segala gadget keren mereka. pastinya dengan maksud membuatku iri dan aku tidak
bisa menampik kalau aku memang iri. Aku segera pergi dari meja itu setelah
meletakkan makanan di meja mereka dengan susah payah aku menahan emosi yang
meluap ini. beberapa menit kemudian Tania memanggilku dengan nada membentak.
“Eh Babu, bisa jualan
nggak sih?”
“Apa?” tanyaku tak
mengerti sambil berjalan mendekat.
“Lihat nih!” bentak
Rachel menunjuk mangkok mienya dan ada kecoa mati di atasnya.
Aku nyengir sejenak,
“Eh kok malah ketawa sih? Kalian itu bisa jualan nggak sih?” tanya Tania.
“Kecoa itu tau banget
tempat yang pantas buat mati” ujarku.
“Kurang ajar loe ya!” bentak
Lisa. “Kalau hal ini kita aduin ke Kepala Sekolah loe sama ibu loe yang bisu itu bisa nggak boleh jualan lagi di
Kantin Sekolah ini tau nggak”
Ibuku datang dengan
tergopoh-gopoh dan bertanya ada apa dalam bahasa isyarat. Namun Tania langsung
mendorongnya ke Lantai akupun tidak terima balas mendorongnya hingga menabrak
meja. Lisa dan Della maju membalas mencakar dan menjambak rambutku tanpa bisa
aku hindari. Anak-anak di Kantin malah menyemangati kami seperti kami adalah
sebuah hiburan. Hingga akhirnya Nia dan Damar muncul melerai kami.
©©
Kelanjutan dari perkara
itu tentu saja Ruang Kepala Sekolah. Karena Ayah Tania merupakan donatur
terbesar sekolah. Akhirnya Sekolah tak punya pilihan lain selain mencabut izin
jualan ibuku beruntung beasiswaku tak ikut dicabut.
Aku lelah tubuh dan
batin, hingga sampai di Rumah aku langsung masuk Kamar dan menangis sepuasku.
Ibu masuk tanpa suara dan duduk di sisi tempat tidurku membelai rambut
panjangku dengan lembut. Aku mengangkat wajahku memandang wajah ibu.
‘Sabar’ ucap ibu dalam
bahasa isyarat sambil tersenyum.
“Sabar yang benar saja
Bu!!” ucapku dalam bahasa isyarat dan kata-kata juga. “Aku sudah sabar Bu, aku
sudah sabar selama bertahun-tahun. Sejak aku SD aku selalu jadi bulan-bulanan
temanku yang lebih kaya. Dan ibu masih menyuruhku sabar! Aku kurang sabar apa
Bu. Saat semua temanku bisa menikmati masa muda mereka. aku malah terjebak di
sini dengan segala kekurangan. Kenapa sih Bu? Kenapa Ibu harus jadi orang
miskin? Kenapa hidup kita kayak gini? Aku juga mau Bu, bisa punya barang-barang
bagus, baju bagus, tinggal di Rumah mewah dengan kamarku yang luas. Katakan Bu!
Harus sesabar apalagi aku?”
Akhirnya aku kalah dari
kemarahan yang selama ini aku pendam. Ibu hanya bisa terdiam dan air matanya
mengalir perlahan di pipinya. Tapi aku tidak bisa peduli lagi, aku menyambar
jaketku di gantungan belakang pintu dan melangkah keluar Rumah. Suasana di luar
seketika mendung, langit gelap dan angin pun sangat dingin. Aku tidak tau aku
harus kemana sekarang, aku hanya terduduk di Pos Ronda di Gang yang sepi.
Aku benci kehidupan
ini, aku sangat benci! Kenapa harus kehidupan seperti ini yang diberikan
padaku?
“Kamu baik-baik saja?”
tiba-tiba ada sebuah suara lembut yang terdengar. Aku mendongak dan melihat
seorang gadis cantik dihadapanku. Rambutnya panjang mencapai punggungnya
berwarna hitam kecokelatan berkilau. Matanya berwarna hitam kelam dan kulitnya
agak kecokelatan dan mengkilap seperti kain nilon. Dia mengenakan dress hitam
selutut polos yang terlihat sangat ganjil untuk dipakai di tengah gang seperti
ini.
“Aku baik” jawabku
berusaha sewajarnya namun tidak bisa suaraku sudah serak karena menangis.
“Namaku Wena, mungkin
kamu butuh seseorang untuk cerita” ucapnya duduk di sebelahku.
“Aku tidak butuh
siapapun” balasku dingin. Namun tangannya malah menyentuh tanganku. Rasanya
hangat dan rasa nyaman langsung menyeruak memasukki diriku entah kenapa.
“Ceritalah tidak
apa-apa jangan menangisinya sendirian” ucapnya. Mata kami bertemu dan aku rasa
ada suatu ketulusan dalam tatapan matanya. Aku menceritakkan padanya, tentang
betapa bencinya aku pada kehidupan ini. tentang Tania dan ibuku yang tunarunggu
tentang bagaimana aku dihina karena ibuku hanya seorang penjual di Kantin dan
profesi-profesinya yang selalu menyedihkan dan tidak bisa dibanggakan.
“Aku tau kamu pasti
sudah terlalu lama bersabar. Jadi menangis saja karena kamu tidak sendirian
sekarang” hibur Wena. Baru kali ini ada orang yang tidak menyuruhku untuk bersabar
terus dan rasanya menyenangkan. Aku menangis sampai aku sesegukan dan mulai
tenang.
“Untuk hadiah pertemuan
kita” Wena melepas kalung yang menggantung di lehernya aku baru sadar dia
memakai kalung. Wena memakaikan kalung itu di leherku. Kalung itu sangat indah
berbentuk bunga dan berwarna perak atau mungkin memang terbuat dari perak.
“Kalung itu selalu
menghiburku saat aku sedih, kamu pasti akan membutuhkannya. Kalung itu punya
mantra loh. saat kamu sendirian coba ucapkan “Leisosa eviolosa” kata penjualnya
sih itu mantra pemanggil kebahagiaan tapi aku belum pernah mencobanya” ujar
Wena.
“Mantra pemanggil
kebahagiaan? Tapi apa tidak apa-apa kamu memberikan kalung ini begitu saja
padaku? Sepertinya kalung ini mahal?”
“Tidak apa-apa, kamu
lebih butuh. Oh ya, dari tadi aku belum tau namamu?” jawabnya sekaligus
bertanya.
“Namaku Lia,
terimakasih banyak ya Wena. Oh ya Wena apa kita bisa bertemu lagi?”
“Mungkin, aku jarang
keluar karena dilarang oleh orang tuaku. Tapi mungkin kita bisa bertemu kalau
beruntung”
“Oh memangnya kenapa
kamu tidak boleh keluar oleh orang tuamu?” tanyaku.
“Panjang ceritanya,
sudah ya Lia aku pulang dulu. kamu jangan sedih terus” jawab Wena. Dia mulai
berdiri dan berjalan pergi hingga dia lenyap di belokan gang. Dia pasti anak
orang kaya pikirku. Aku pulang ke Rumah menjelang sore dan saat seperti ini ibu
pasti sedang di Perumahan orang-orang kaya untuk mencuci dan menyeterika
pakaian. Aku langsung masuk Kamar dan duduk di Kasur sambil memegangi kalung
itu.
“Mantra pemanggil
kebahagiaan? Apa aku gila percaya yang seperti itu?” gumamku sendiri. Tapi
mendengar kalau mantera itu bisa memanggil kebahagiaan aku tergoda untuk
mencoba.
“Leisosa Eviolosa”
ucapku. 1,2,3 tidak terjadi apapun. Apa mantera itu palsu? Aku mendongak
melihat sekeliling. Ternyata Kamarku sudah berubah bukan Kamar sempit dengan
perabotan sederhana lagi. tapi berubah menjadi Kamar yang besar, luas dan
perabotannya mewah dengan tempat tidur king size.
“Halo Lia, aku adalah
Eviolosa. Aku adalah peri yang akan mengabulkan semua keinginanmu” sambut
seorang gadis yang sangat cantik. Rambutnya panjang matanya berwarna emas indah
sekali. Dengan gaun perak yang indah dia
melayang dengan sayap transparannya di depanku.
“Eviolosa, jadi benar
mantera itu pemanggil kebahagiaan?”
“Tentu saja, sekarang
ucapkan keinginanmu akan kukabulkan”
“Benarkah? Kalau begitu
aku ingin Iphone, Ipod, Ipad, kamera SLR lalu baju-baju yang bagus, aksesoris
yang bagus” pintaku dengan semangat. Dalam satu jentikan jari semua sudah
tersedia di hadapanku. Semua yang aku inginkan jadi milikku.
©©
Semua tentunya kaget
melihatku membawa Ipad ke Sekolah terutama Tania dan gengnya. Tapi aku tidak
memperdulikannya mereka tidak punya alasan untuk menghinaku.
“Nyolong dari mana
loe?” tanya Tani rasis.
“Maaf ya, aku nggak
nyolong aku beli” jawabku jelas berbohong. Aku tidak mungkin bilang ke mereka
kalau aku punya peri bernama Eviolosa.
“Beli? Uang apa? kamu
jual diri ya?” kata Lisa membuatku marah.
“Jaga ya omongan loe!
Emang Cuma kalian aja yang boleh punya barang-barang bagus! Gue juga bisa!”
kataku nyolot dan langsung melenggang memasukki Kelas. Nia dan Damar menatap
heran ke arahku aku tidak menyukai tatapan heran mereka itu.
“Apa sih?” tanyaku
ketus.
“Ada sesuatu yang
terjadi ya Lia?” tanya Nia memandangku
seakan aku ini hewan yang terluka.
“Kamu mau bilang kalau
aku nyolong juga gitu? Atau jual diri iya?”
“Enggak Lia, kami nggak
masalah kamu punya Ipad atau apapun tapi..” Damar tidak melanjutkan
kata-katanya.
“Halah, ternyata kalian
sama kayak Tania!” aku membanting tasku dan langsung pergi dari Kelas menuju
Toilet. Di sana aku ucapkan mantera memanggil Eviolosa.
“Ada apa Lia? Apa kamu
mau meminta sesuatu?” tanya Eviolosa.
Aku mengangguk mantap,
“Aku ingin Tania jadi Tunarunggu seperti ibuku dan aku ingin Nia dan Damar
jauh-jauh dariku”
“Baik” ucap Eviolosa
sembari menjentikkan jarinya. Mendadak di Sekolahku ada perputaran Kelas jadi
aku terpisah dari Nia dan Damar. Sepulang Sekolah Tania mengalami kecelakaan
dan membuat pita suaranya rusak.
Aku melangkah pulang
dengan ringan menyusuri gang-gang yang sepi. panas menyengat hari ini
menyebabkan semua pintu Rumah tertutup namun tidak aku hiraukan. Baru pertama
kali dalam hidupku aku merasa sesenang ini.
“Itu nggak akan berlangsung
lama” ucap seseorang membuat aku berbalik ke arahnya. Ternyata seorang perempuan cantik lagi. bukan Eviolosa,
kali ini dia memakai dress yang sama seperti Wena tapi berwarna putih. Sekilas
aku kira dia adalah Wena tapi rambutnya hanya sebatas bahu dan berwarna hitam
sepenuhnya. Matanya berwarna merah menyala seperti terbakar, kulitnya pucat
hingga nyaris transparan.
“Itu nggak akan
berlangsung lama Lia, kebahagiaan itu akan memakanmu. Dia akan menculikmu ke
negrinya” ucap gadis itu berjalan mendekat hingga berada tepat di depanku.
“Siapa kamu?” tanyaku
ketus, aku tidak suka dengan nada bicaranya.
“Aku Anis, percayalah
kalung itu memberi pengaruh buruk untukmu. Kamu harus memberikkannya padaku.
Aku akan menghancurkannya”
“Tidak!” ucapku
seketika aku mengenggam kalung itu. “Kamu ingin memiliki Eviolosa kan? Tidak
aku tidak mau” aku berbalik dan langsung berlari, sampai di Rumah aku langsung
masuk Ke Kamarku yang kini makin indah.
“Percayalah Lia, dia
hanya ingin dendam yang ada dalam hatimu” aku tersentak melihat Anis berdiri di
tengah Kamarku. Bagaimana bisa dia?
“Pergi Kamu!!” usirku.
“Wena memanfaatkanmu,
berikan kalung itu padaku Lia. Kamu harusnya tau bahwa hidup mewah tidak
selamanya bisa bahagia”
“Kalau kamu mau
mengambil kalung ini ambil sendiri!” tantangku.
“Tidak bisa kalung itu
dilindungi mantera hanya pemiliknya yang bisa memberikannya dan tidak bisa
direbut. Lia percayalah! Kamu harus memberikannya sebelum kamu dibawa pergi”
“Leisosa Eviolosa!”
teriakku. Eviolosa keluar dari Kalungku. “Usir dia dan aku tidak mau dia masuk
lagi kemari” Eviolosa langsung menyergap Anis dan menyeretnya menembus tembok.
Aku membanting diriku di Kasur. Apapun yang terjadi aku tidak mau kalung ini
lepas dariku.
“Saya sudah mengusir
dia Lia” ucap Eviolosa memasukki Kamarku.
“Bagus, aku tidak mau
dia di sini lagi” seruku.
“Lia, aku ingin
menunjukkan padamu sesuatu” ucap Eviolosa.
“Apa itu? “tanyaku
penasaran langsung bangkit berdiri.
“Aku ingin
menunjukkanmu negri bidadari. Negriku. Kamu adalah tuanku yang paling baik aku
tidak pernah mendapat tuan sebaik kamu. jadi aku ingin menunjukkanmu negri para
peri dan bidadari tinggal di sana ada banyak permintaan yang bisa kamu ajukan
hingga tak terhingga”
Aku tergoda untuk ikut
Eviolosa ke Negrinya. Bayangkan saja aku bisa meminta apapun yang aku mau
hingga tak terhingga. Aku meraih uluran tangan Eviolosa cahaya putih menguasai
sekelilingku. Kupejamkan mata dan mulai menyusun daftar permintaan di Kepalaku.
Boro-boro meminta
permintaan sekarang kedua tangan dan kakiku malah dirantai. Aku tidak tau di
mana aku sekarang. Sekitarku gelap hanya ada cahaya remang-remang dari obor
yang menempel di dinding batu. ruangan yang berbentuk lingkaran itu terlihat
mencekam, gelap dan dingin ketakutan menguasai diriku.
“Mau minta sesuatu
Lia?” Wena turun dari atas menembus atap, dengan lembut dia menjejak lantai.
Lalu berjalan anggun mendekatiku dan berlutut mendekatkan wajahnya ke
wajahku. “Perasaanmu sangat sempurna”
“Wena, kamu-kamu di
mana Eviolosa?”
“Eviolosa?” Wena
berdiri tiba-tiba cahaya hitam menyelimutinya dan Wena berubah menjadi Eviolosa
untuk beberapa menit lalu dia kembali lagi ke Wena. “Eviolosa adalah Wena,
selamat datang untukmu Lia di Negri Paralelku. Sekarang aku akan membuatmu
merasa takut dan putus asa lalu aku akan memakan perasaanmu itu sebagai
kekuatanku dan kamu tidak akan punya kebahagiaan lagi untuk dirasakan”
Walau mencoba untuk
tidak takut tapi aku tidak bisa menahan ketakutan itu. dalam benakku terbayang
masa-masa hidupku yang selama ini aku sesali ternyata tidak seburuk yang aku
pikirkan. Aku teringat Nia dan Damar sahabat-sahabatku yang baik dan selalu
menyemangatiku. Lalu ibu aku sudah sangat bersalah pada ibu. Selama ini ibu
selalu berjuang untukku tapi aku tidak pernah menghargainya sama sekali. Aku
malah membuangnya begitu saja.
“Maafkan aku ibu,
maafkan aku Lia, Damar” gumamku sembari menangis.
Kulihat cahaya putih
mendarat di depanku mendorong Wena hingga menabrak dinding batu. Anis!! Seru
hatiku melihat Anis di hadapanku. Dengan pedang cahayanya dia memotong rantai
yang memasung tangan dan kakiku.
“Bagaimana kamu bisa
masuk ke Negriku?” tanya Wena marah.
Anis berbalik menatap
Wena, “Karena Nia merasa menyesal dan dalam dirinya dia memohon kesempatan
kedua. Dia memohon harapan sumber kekuatanku”
“Kurang ajar!” Wena
marah dan mengeluarkan cahaya hitam dari tangannya. cahaya itu dengan cepat
menuju Anis tapi Anis mengeluarkan cahaya putih hingga terjadi koneksi antara
kedua cahaya itu. koneksinya sangat kuat membuat aku terpental beberapa meter
ke belakang. Kepalaku pusing menabrak lantai batu. apa yang harus kulakukan?
Apa yang harus kulakukan? Aku bertanya-tanya pada diriku. Aku ingin pulang! Aku
ingin pulang dan meminta maaf pada ibu. Meminta maaf pada Nia dan Damar. Aku ingin
menyampaikan pada mereka bahwa selama ini aku salah. Aku menyesal dan aku
berharap aku memiliki ….. sebuah harapan.
Aku raba-raba leherku
dan aku menemukan kalung bunga itu masih terpasang di leherku. Aku menariknya
paksa hingga terlepas aku berusaha bangkit dan mendekati koneksi cahaya Wena
dan Anis. Walau tubuhku terasa dicabik-cabik oleh sinar koneksi itu. aku
melemparkan kalung itu di tengah koneksi cahaya mereka. dan blam! Terjadi
ledakan dan aku terbentur lagi lalu entahlah semua gelap.
Aku buka mataku dan
merasakkan betapa sakitnya kepalaku. Atap putih dengan lampu neon juga wajah
lembut ibuku menyambutkku. Ibuku langsung berseru pada Nia dan Damar yang
berdiri di belakangnya.
“Lia, kamu sudah sadar
akhirnya” seru ibu bahagia.
“Ibu, Ibu bisa bicara?
Apa yang terjadi sama aku bu?” tanyaku.
“Iya Lia, ini
benar-benar suatu keajaiban. Lia kamu mengalami kecelakaan kamu ditabrak mobil
lalu kamu sudah 5 hari tidak sadarkan diri” jelas ibu.
“Lia untunglah kamu
sudah sadar” ucap Nia mengenggam tanganku.
“Aku tidak ingat
apapun, kepalaku rasanya sakit sekali” keluhku.
“Ibu akan panggilkan
dokter ya untuk memeriksamu” ibu buru-buru keluar dari Kamarku.
“Lia, aku tadi udah
pesanin makanan kesukaan kamu di Kantin Rumah Sakit bentar aku ambil dulu ya”
seru Nia bahagia dia juga keluar dari Kamar. Tak lama handphone Damar berdering
dan dia juga keluar dari Kamar.
“Anis, kamu di sini
kan?” ucapku tak lama Anis muncul dari sudut Kamar.
“Ternyata kamu
menyadarinya ya”
Aku mengangguk,
“Terimakasih sudah menyembuhkan ibuku”
“Tania juga bisa bicara
lagi, ini hadiah atas keberanianmu”
“Apa yang terjadi pada
Wena?” tanyaku.
“Dia melemah, karena
keinginanmu untuk menemukan harapan begitu kuat apalagi saat kamu melemparkan
kalung itu kekuatanku jadi bertambah hingga aku bisa melindungi kita dari
ledakan itu”
“Sebenarnya kamu dan
Wena itu apa? apa kalian peri atau apa?”
“Yang jelas kami adalah
putus asa dan harapan. Kamu tidak perlu memikirkan kami lagi. Mulai dari
sekarang kamu tidak akan melihatku lagi atau Wena lagi. aku janji”
“Terimakasih” ucapku tulus
“Em, Anis apa itu artinya kita tidak bisa bertemu lagi?” tanyaku.
“Kau tau aku adalah
wakil dari harapan, kalau kamu terus memiliki harapan di hatimu maka sebenarnya
aku tidak pernah pergi” lalu Anis hilang bagai pasir pantai yang dihembus
angin. Kebahagiaan bukan di dapat bedasarkan seberapa banyak yang kamu miliki.
Tapi kebahagiaan di dapat bedasarkan seberapa banyak yang kamu syukuri. Ibuku ,
Nia dan Damar kembali ke Kamar dan aku langsung memeluk mereka. mulai sekarang
aku tidak akan pernah menyesali kehidupanku lagi karena kebahagiaan sebenarnya
sudah ada di dekatku sejak dulu.
0 komentar:
Posting Komentar